top of page

Mengenal Seluk Beluk Toraja Selama Dua Bulan

Our happiest moments as tourist always seem to come when we stumble upon one thing while in pursuit of something else …

-Lawrence Block-

 

Akhirnya ke Toraja!!

Itulah kalimat antusias yang  saya pikirkan saat mendengar bahwa saya akan ke Toraja untuk pekerjaan saat ini. Kenapa tidak, Toraja merupakan salah satu destinasi impian yang saya idamkan selama terjun bebas di dunia kepariwisataan sebagai mahasiswa bahkan setelah bekerja. Beberapa kilasan mengenai ‘mayat hidup’ mulai menggerayangi pikiran. Tangan dan mata mulai bergerak untuk melihat sekilas video youtube mengenai Toraja The Walking Dead. Seram memang. Tapi apakah betul seseram itu? Saya hanya bisa membayangkan saja sembari semakin dalam mencari informasi terkait kondisi di sana. Seperti informasi mengenai iklim atau cuaca. Iklim merupakan hal pertama yang selalu saya cari tahu sebelum berkunjung ke sebuah tempat baru yang akan membantu dalam memilih  pakaian yang akan dibawa.  Menurut sumber internet, Toraja merupakan dataran tinggi yang dikelilingi oleh pegunungan. Seperti Bandung, mungkin lebih dingin lagi. Sambil berkemas, saya merasa agak lucu karena pergi membawa koper, bukan tas carrier seperti biasanya -koper tersebut mendadak dibeli karena pada dasarnya saya tidak terlalu suka koper- Tapi tentu saja koper akan sangat berguna untuk persiapan sebagai lemari mini saat penugasan di Toraja selama kurang lebih dua bulan, sendirian.

 

 

Bagian Kesatu: Antusias

 

Kami sebanyak tiga orang  tiba di Bandara Soeta pukul empat pagi menggunakan travel dari Bandung, dilanjutkan dengan penerbangan menuju Makassar. Setibanya di Bandara Hasannudin, kami menuju kota Makassar yang berjarak kurang lebih tujuh belas kilometer menggunakan taxi dan singgah di rumah makan sebelum menuju Kantor Dinas Kepurbakalaan untuk mencari dan meminta informasi.

Sambil menunggu data yang dimaksud, kami sempat berkeliling di dalam Museum La Galigo dan melihat-lihat peninggalan dan perjalanan dari La Galigo, sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan, dan lain sebagainya. Panas sekali Makassar.

 

Perjalanan menuju Toraja dilanjutkan dengan bis malam yang terjadwal pukul 21.30 sambil menunggu satu orang tim kami.. Sambil beristirahat di dalam bus bersama dengan ketiga orang lainnya, kami menunggu keberangkatan sampai pukul 22.25. Mungkin saya terlalu lelah atau kursi bis yang terlalu nyaman sehingga tidak sadar bahwa pagi harinya saya sudah sampai di  Toraja.

 

Aroma sejuk udara dan iklim dingin memaksa saya mengeluarkan jaket andalan. Ini sih lebih dari Bandung! Celoteh saya pada salah satu rekan sambil menunjuk kabut yang masih bergumpal tebal di balik salah satu bukit di belakang hotel itu.

 

Kabut berangsur hilang ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh waktu Toraja. Matahari membantu memperlihatkan keunikan Toraja yang sesungguhnya, bangunan yang berbentuk ‘perahu’ mulai terlihat di kiri-kanan jalan. Oh, ini toh Tongkonan itu. Lucu sekali bentuknya, bagaimana cara buatnya ya? 

 

Objek Wisata yang Terdaftar!

 

Hari pertama saya bertugas masih  bersama beberapa anggota tim. Bersama-sama kami mengunjungi objek wisata yang memang sudah dikenal melalui buku maupun website yang membicarakan mengenai Toraja.  Ke’te Ke’su, objek wisata paling digemari - tentu karena lokasinya yang dekat - ini selalu menjadi tujuan wajib wisatawan ke Toraja. Di sini saya melihat Tongkonan[1] , Erong[2]  serta Goa Malilin.  Uniknya terdapat Tau-tau[3] yang diberi jeruji agar tidak dicuri karena sering terjadi pencurian.

 

Perjalanan kami lanjutkan mengikuti daftar yang telah dibuat sebelumnya. O ya, kami menyewa mobil ditambah sopir yang ternyata asli orang Makale[4] sekaligus berperan sebagai ‘pemandu dadakan’ kami. Beberapa saat kemudian sopir memberhentikan kendaraan di wilayah yang diduga adalah Pala’To’ke. Menurut sumber informasi tertulis, terdapat kuburan gantung dan peti mati purba disini. Sangat sulit untuk menemukan kuburan gantung ataupun peti mati yang dimaksud, tim sudah mencoba memicingkan mata untuk mencari karena tidak terdapat papan petunjuk disini, hanya terdapat satu papan petunjuk arah dari Kantor Pemda setempat sejauh 1,8 km sebelumnya dengan kondisi rusak.

Kurang beruntung, tidak ketemu, dan karena keterbatasan waktu, kami melanjutkan perjalanan ke objek selanjutnya seperti Londa dengan keunikan goa-nya dan Kambira kuburan bayi-bayi di pohon.

 

Sama seperti kemarin, hari ini saya tetap ‘mengekor’ mengikuti tim dengan mengunjungi Tongkonan Buntu Pune, Rante Karassik, Bori Parinding (Kalimbuang) dan Pallawa. Setelah saya amati, setiap objek wisata memiliki karakteristiknya masing-masing. Seperti Tongkonan Buntu Pune yang memiliki ukiran dinding tongkonan yang menurut sumber informasi lebih berkembang dibandingkan dengan ukiran di wilayah lain dengan Rante Karassik sebagai tempat upacaranya. Juga Bori Parinding yang ternyata selain mempunyai batu menhir juga terdapat makam bayi di pohon -populer disebut baby graves- dan makam batu dengan lokasi yang mengharuskan berjalan kaki lebih ke dalam lagi.

 

Tidak lupa kami mengunjungi Pallawa dengan keunikan lainnya. Ibu-ibu pedagang suvenir menempati setiap lumbung-lumbung kosong disini.

 

Kami menuju lokasi ini melewati jalan aspal. Pengunjung sangat disarankan untuk bertanya kepada masyarakat sekitar karena hanya terdapat satu papan petunjuk arah dengan kondisi sudah miring dan berkarat. Suasana Pallawa baru terasa ketika rumah Tongkonan dan lumbung mengelilingi kami karena tidak ada pintu gerbang. Mobil yang kami tumpangi langsung menerobos ke tengah kumpulan Tongkonan karena tidak adanya tempat parkir. Banyak terlihat wisatawan hilir mudik menggunakan mobil travel disertai pemandu. Uniknya dalam setiap lumbung terdapat ibu penjual suvenir yang menjajakan dagangannya sambil melambaikan tangan pada kami. Sedikit mengobrol, saya membeli beberapa suvenir lokal dengan harga miring, hasil menawar. Di belakang lumbung terdapat kurang lebih lima toko suvenir lainnya diantaranya terdapat baju rompi yang terbuat dari tulang kerbau.

 

Dari Pallawa, kami  menuju Nanggala, perjalanan selama kurang lebih 45 menit, terlihat sungai di sebelah kiri jalan. Selain itu terdapat beberapa fasilitas umum seperti wartel, warnet, penjual kopi, penjual bensin eceran serta melewati daya tarik lain, yaitu Pasar Bolu sebagai pasar tradisional ternak (kerbau dan babi) di Toraja Utara. Kesan pertama di Nanggala adalah hening, tidak ada pengelola, tidak ada wisatawan ataupun penjual suvenir disini. Kami langsung menuju ke dalam dan bertemu dengan seorang wanita setengah baya yang mulai memperkenalkan diri sebagai salah satu keluarga Nanggala. Hampir seluruh atap tongkonan dan lumbung menggunakan seng. Tidak ada fasilitas wisata disini, hanya ada toko suvenir yang tutup  dan toilet dengan kondisi yang memrihatinkan.

 

Cukup banyak yang kami kunjungi hari ini,  terutama daya tarik wisata yang mudah diakses dan sebagian besar sudah terkelola. 

 

Hari berikutny saya bersama dengan satu rekan akan menelusuri daya tarik Toraja menggunakan motor sehingga bergegas bertanya mengenai tempat penyewaan. Sulit sekali menemukan tempat penyewaan motor. Berdasarkan informasi dari kenalan di Toraja, penyewaan sepeda motor sudah habis karena hanya bisa dihitung jari. Saya mencoba alternatif dengan bertanya pada pihak hotel dan mendapatkan seorang pegawai yang bersedia menyewakan motornya selama satu minggu. Saya membayar 70 ribu per-hari dilengkapi dengan STNK dan dua buah helm. Untuk masalah harga saya tidak banyak menawar karena motor tersebut bisa dipakai selama 24 jam non-stop berbeda dengan motor di tempat penyewaan di Jawa yang kebanyakan hanya bisa disewa sampai jam enam sore saja. Akhirnya, dengan perasaan antusias saya mulai mengendarai motor bebek dengan membonceng rekan yang dengan sibuknya membolak-balik peta Toraja agar kami tidak kehilangan arah.

 

Buntu Singki adalah tujuan pertama kami. Sempat bertanya pada tiga orang penduduk lokal untuk menuju lokasi ini karena tidak ada petunjuk arah. Untungnya penduduk disini sangat ramah sehingga kami tidak nyasar. Kami tidak melihat adanya petunjuk tempat dan tempat parkir, apalagi loket tiket. Tidak ada parkir motor apalagi fasilitas wisata, yang ada hanya satu tempat sampah yang sepertinya sudah sangat lama ‘bertengger’ di sana. Jalan setapak menuju puncak cukup baik namun banyak belukar dan licin serta tidak memiliki pengaman ketika menaiki tangga. Selain itu pengunjung dianjurkan untuk membawa bekal air minum karena jalan menuju puncak cukup melelahkan. Ketika sampai puncak, kami melihat panorama pegunungan yang mengelilingi kota Rantepao.  Lapang sekali pemandangannya!

 

Tanpa pemandu di sini, kami tidak bisa mengetahui batasan wilayah atau nama pegunungan yang mengelilingi kota Rantepao. Setelah istirahat selama 15 menit, muncul dua wisatawan mancanegara dengan didampingi oleh pemandu lokal yang sepertinya dibawa dari Rantepao. Selain itu terdapat satu pasang muda-mudi yang sedang duduk di pojok bangunan Buntu Singki. Mungkin untuk bersunyi-sunyi.

 

Oya, menurut informasi Buntu Singki ini masih dalam tahap pembangunan. Setelah dilihat, memang betul masih terdapat alat cor, kabel listrik yang tercecer di mana-mana dan alat berat lain yang mengganggu pemandangan. Saat kami mencoba turun, rasa tidak aman mulai dirasakan kembali karena pijakan tangga kami tidak padat, kosong, mengarah ke jurang. Dengan yakin, saya tidak akan mengajak orang tua atau keponakan kesini. Terlalu berbahaya. Namun ada kabar saat buku ini diterbitkan, Buntu Singki sudah dikembangkan menjadi lebih baik.

 

Perjalanan kami lanjutkan memakai motor menelusuri jalan akses pedesaan untuk menuju Buntu Barana. Seperti biasa, tidak terdapat petunjuk arah untuk menuju kesini. Jalan yang rusak seringkali memperlambat perjalanan. Setelah bertanya sana-sini akhirnya kami menemukan lokasi yang dimaksud. Saya parkirkan motor di satu-satunya warung disana. Kami membeli sebotol air mineral sebagai ganti uang parkir dan langsung menuju Buntu Barana ditemani oleh warga lokal. Seorang kakek yang kebetulan sedang memperbaiki jalan setapak di sana. Jalan setapak berlapiskan tanah, sehingga akan becek sekali di musim penghujan. Beberapa meter setelahnya, jalan tanah berganti dengan tangga lumut menanjak. Kakek tersebut harus menggunakan golok untuk membuka jalan.

 

Semak belukar semua!

 

Saya harus menggunakan tudung kepala jaket untuk menutupi serangan semak berduri dan ulat bulu yang terlihat menggantung di beberapa dahan terdekat. Makin atas makin rapat. Kumpulan lalat mulai mengganggu pandangan. Sangat banyak lalat hinggap di daun dan ataupun berseliweran ketika kami melewatinya. Sebenarnya saya ingin bertanya pada sang kakek kenapa banyak sekali lalat disini. Tapi hal itu terjawab ketika kami melihat beberapa makam batu tertempel di dinding tebing. Mungkin ada yang masih baru. Seraam!

 

Akhirnya kami sampai di puncak. Pemandangan masih tertutup belukar. Saat kakek menebas semak tersebut, panorama Rantepao dari kejauhan ditambah dengan Gunung Salira terlihat disini. Masih berdiri, kami sedikit mengobrol mengenai Buntu Barana. Terlihat dari reruntuhan shelter yang menandakan bahwa dulunya wilayah ini pernah dikembangkan sebagai objek wisata. Tidak lupa kami memberikan sedikit tip pada sang pemandu sebelum berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke daya tarik selanjutnya.

 

Malu bertanya, sesat dijalan.

 

Hampir di setiap belokan kami harus berhenti untuk bertanya pada penduduk sekitar. Tak jarang kami harus putar arah apabila sudah terlewat. Setelah melewati jalan berbatu, akhirnya kami sampai ke tujuan berikutnya. Kandeapi merupakan wilayah yang lebih terawat dibandingkan sebelumnya. Terdapat tongkonan, Gereja Kandeapi, kurang lebih terdapat 15 batu tertancap tersebar, tebing kuburan, Patane[5] bahkan satu ekor kerbau. Saat itu fasilitas wisata hanya: tempat parkir, toilet di dekat gereja, serta papan peringatan ‘situs purbakala ini dilindungi (bla bla bla) … Polres Tator’ namun berkarat.

 

Saat memarkirkan motor, kami melihat tongkonan ini sedang diperbaiki, beberapa orang terlihat menaiki atap tongkonan dengan bantuan bambu yang diikat. Suatu kebetulan, kami bertemu dengan rekan kami yang sedang berbincang dengan enam tokoh masyarakat di tongkonan terbesar di Kandeapi.  

 

Secara umum, daya tarik sudah lebih siap dibandingkan dengan dua buntu sebelumnya walau sedang direnovasi. Pemandangan dan visabilitas baik sehingga berpotensi menjadi daya tarik yang setara dengan Ke’te’ Kesu’ apabila penambahan fasilitas sudah dilengkapi. Kami mengobrol sebentar dengan rekan kami mengenai kesulitan dalam menemukan tongkonan ini dan mulai berpencar kembali agar dapat mengejar lokasi lainnya menggunakan motor.

 

Perjalanan panjang kami dimulai setelah Kandeapi, melewati berbagai lansekap indah dengan bukit karst yang baru pertama kali kami lihat secara khusus. Sungguh bersyukur saya bisa melihat lukisan alam dengan kedua mata saat ini.

 

Jenis jalan akses saat itu berubah-ubah, kadang aspal, kadang tanah berlubang namun masih mungkin untuk dijelajahi menggunakan sepeda karena sepi kendaraan bermotor, sejuk dan menenangkan. Sayang sekali tidak terdapat shelter maupun warung/kios sehingga kami tidak bisa berlama-lama menikmati pemandangan indah disini karena perut sudah tidak dapat diajak kompromi.

 

Setelah menyusuri jalan desa, akhirnya kami tiba di wilayah Batutumonga. Pemandangan sawah yang luas nampak berbeda dengan sawah-sawah di Jawa pada umumnya, sawah tersebut seakan ditaburi oleh batu seukuran mobil. Memang betul-betul pemandangan spektakuler.

 

Batutumonga akan sangat indah pada waktu panen yaitu pada bulan Maret dan April. Selain menggunakan sepeda motor, pengunjung dapat menggunakan minibus atau mobil dari Terminal Bolu untuk mencapai kawasan ini. Namun tetap saja, apabila ingin menikmati keindahan Batutumonga dengan iklim sejuknya, dianjurkan untuk menggunakan motor saja. Rumah singgah untuk bermalam dengan pemandangan lepas hamparan kota Rantepao pun menjamur disini.

 

Setelah bergerak pelan menyusuri jalan, akhirnya saya dikagetkan bukan lagi oleh batu besar ukuran mobil, tapi seukuran UFO! Tidak hanya sekedar batu biasa, Lokomata dianggap sebagai makam batu terbesar di Toraja. Banyak sekali lubang-lubang seperti sarang tawon disini. Selain itu terlihat juga Patane di kiri-kanan batu besar tersebut.   Beruntungnya Lokomata adalah salah satu objek wisata unggulan dengan petunjuk arah yang jelas.   Batu besar tersebut berada tepat di pinggir jalan. Setelah mengambil beberapa foto, kami menuju jalan pulang karena sudah sore.

 

Jalan akses berangsur membaik ketika turun menuju arah Rantepao. Ketika mengendarai motor, agak repot juga untuk tetap membuka mata karena banyak serangga kecil yang sudah mulai menyerbu mata. Saya lupa membawa kacamata bening.

 

Setelah 15 menit perjalanan, kami melihat papan petunjuk bahwa terdapat kuburan bayi disini. Hmmm, boleh dicoba juga, mumpung lewat. Kami langsung menaiki tangga batu dan menemukan tiga orang anak kecil yang salah satunya membawa buku tamu untuk pengunjung. Berbeda dengan Lokomata sebelumnya, disini kami harus membayar tiket masuk sebesar 10 ribu per-orang. Dengan sigapnya salah satu dari mereka menunjukkan jalan menuju kuburan bayi sambil mengayunkan senter karena sudah gelap. Kuburan bayi tanpa nama ini lebih besar dibandingkan di Kambira, sayangnya kami tidak mendapatkan foto yang baik karena jarak antara kami dan kuburan bayi yang menempel dipisahkan oleh jurang dan hari sudah semakin gelap.

 

Malam harinya kami langsung beristirahat dan menuliskan rute yang telah kami lewati:

 

Rantepao – Barana – Buntu Barana – Kandeapi – Sangbua – Melamak – Bungin – Lembang Kalunggan – Ria – Lo’bo – Pangrere – Lembang Lempo – Batutumonga – Lo’ko’mata – Pana – Tikala

 

 

Bagian Kedua:

Rumah Kedua Bersama Keluarga Toraja!

 

 

Hari ini adalah hari pertama saya bertugas seorang diri.  Rekan lain sudah pulang ke Bandung. Karena berbagai pertimbangan, saya pindah dari hotel, untuk tinggal di salah satu rumah keluarga di Rantepao, mereka adalah keluarga Panca Sarungallo temannya teman saya.

Bang Panca adalah anak kelima dari lima bersaudara. Asli orang Toraja namun besar di Manokwari karena ayahnya diharuskan bekerja disana pada saat Bang Panca kecil. Sebagai anak bungsu, Bang Panca sekarang mengurus ibu dan ayahnya yang sudah pensiun dan menetap di Toraja. Setelah berkenalan sebelumnya, baru saya tahu bahwa umur saya dan Bang Panca terpaut sekitar delapan tahun! Padalah saya kira seumuran.

 

Pagi sekitar jam delapan saya baru bangun. Malu juga ketika melihat keluarga Panca sudah bangun terlebih dahulu. Sembari ‘mengumpulkan nyawa’ saya melihat beberapa lembar uang yang sudah tinggal sepuluh ribuan dan seribuan yang lusuh semua. Seketika saya ingat ketika berada di suatu warung Rantepao beberapa hari lalu. Saat itu rekan satu tim menolak untuk diberikan uang kembalian yang lusuh. Ibu warung di sana menimpali bahwa uang disini tetap laku walaupun sudah lusuh, bahkan walau sudah di ‘selotip’.   

 

Sesaat setelah membuka pintu kamar, terlihat Panca lalu lalang diruangan tengah.

 

Jam 8.15 - saya bertanya kok belum berangkat kerja? Bang Panca menjawab bahwa dia akan berangkat sebentar lagi. Oke, satu kesimpulan lagi. PNS di sini bekerja enam hari, namun  mereka masih bisa berangkat jam delapan lebih. Saya ke luar beranda rumah, ada Bapak  dan Ibu Panca[6] diluar memberikan senyum ramah, satu orang bapak-bapak berpamitan pada Pak Panca untuk pulang, ia menggunakan mobil. Ternyata ada tamu yang datang berkunjung. Satu hal yang bisa kulihat, walau penampilan mereka biasa saja (menggunakan sarung, celana pendek yang maaf agak lusuh) tetapi mereka menggunakan mobil!

 

Kopi Toraja untukku telah disediakan oleh Bu Panca. Kopinya sudah dingin, gara-gara bangun siang. Salah sendiri. Saat saya duduk, terdengar suara ayam berkokok serta dua anak anjing berlari riang. Enak juga yah duduk-duduk disini. Sejuk. Sudah lama saya tidak merasakan ini. Beruntung rumah kedua saya ini berada di tempat yang nyaman dan tenang.

 

Sambil menyeruput kopi, saya mulai berbincang dengan Ibu dan Bapak Panca. Pak Panca adalah seorang pensiunan dosen di sebuah universitas dan Ibu Panca pernah bekerja juga sebagai PNS di Manokwari. Kami berbincang mengenai Toraja.

 

Kami berbicara mengenai suvenir yang dijual di kota. Ternyata daerah yang saya tempati sekarang adalah daerah pengrajin khusus untuk suvenir yang terbuat dari bambu. Mereka membuat tempat kopi maupun asbak berbahan dasar bambu.

 

Layaknya wisatawan nusantara yang suka berbelanja dan membawa oleh-oleh untuk kerabat, saya sangat tertarik untuk menanyakan gelang atau manik-manik pada Bu Panca. Beliau berkata bahwa dahulu mereka mempunyai Kandaure dan Ambero yang terbuat dari manik-manik yang anti api! alias tidak bisa terbakar. Konon manik tersebut lebih berharga daripada emas bagi orang Toraja. Namun sekarang susah ditemui karena Kandaure dan Ambero yang kulihat di tempat suvenir terbuat dari  plastik  yang mudah terbakar. Sebagai informasi, Kandaure dan Ambero digunakan oleh wanita Toraja pada saat ada acara pernikahan dan kematian.

 

Tidak lupa saya bertanya mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada saat berkunjung ke Toraja. Dengan sigap Pak Panca bercerita bahwa dahulu pernah ada mahasiswa yang datang ke Ke’te Kesu dan memegang serta melempar-lempar tengkorak disana. Sepulangnya, mahasiswa tersebut mendadak sakit dan meninggal. Saya sangat sependapat dengan Pak Panca bahwa dimanapun dan kapanpun kita harus tetap sopan, menghargai leluhur tuan rumah.

 

Satu lagi cerita yang agak seram pada pagi pertama saya disini.

 

Dulu di suatu daerah pernah ada Tongkonan yang mempunyai hiasan tanduk namun berbentuk sedikit aneh dengan dahan yang muncul di kepalanya. Sambil terkekeh Pak Panca menyebut itu adalah ‘kerbau banci’. Untungnya saya tinggal di daerah yang masih ‘aman’ karena pada saat pengunjung itu berucap ‘itu apa ya?’ ‘ko gitu sih?’ ‘aneh ya’, itu semua tabu atau tidak diperbolehkan. Konon setelah berucap demikian, pengunjung tersebut mimpi dikejar oleh kerbau dan terlihat seperti kesurupan. Tentu saja akhirnya meninggal. Sambil tersenyum Bu Panca berkata bahwa apabila ada yang sedikit ‘aneh’ di sini jangan sekali-sekali diucapkan! Cukup pendam dalam hati. Karena ‘mereka’ seringkali mengawasi.

 

Sedikit penasaran juga dengan air yang akan  saya pakai untuk mandi nanti. Saya bertanya mengenai sumber air. Ternyata tidak ada air PDAM. Terpikir untuk mengambil contoh air di sini untuk diteliti oleh rekanku si ahli air. Keluarga Panca menggunakan pompa untuk mengambil air dari sumber mata air dan bagi warga yang tidak punya pompa, mereka harus mengambil air sendiri baik dengan ditimba atau diciduk, namun diangkut menggunakan jerigen. Kasian, ucapku spontan.

 

Pak Panca kembali menambah kumpulan cerita seramku pagi ini. Pernah ada tukang yang mencoba mengubah jalur mata air dengan menghancurkan sebuah batu tanpa ijin -untuk kepentingan pribadi- Hal itu  merugikan warga lain yang menggunakan jalur air yang sama. Sepulangnya tukang tersebut sakit parah, dan ternyata meninggal. Saya hanya berkata dalam hati kok disini dikit-dikit meninggal-ya.

 

Bu Panca menambahkan bahwa mereka sebagai penganut  agama Katolik harus selalu meminta ijin pada alam, karena alam dan manusia di manapun memang saling berhubungan. Sekali lagi saya mengangguk-angguk sambil memikirkan kejadian buruk yang akan saya alami jika teledor, salah bicara atau salah membuat orang lain marah.

 

Bang Panca menelepon sekitar jam 09.30 memastikan jadwalku hari ini. Saya berencana untuk memasukkan data dan tidak akan kemana-mana hari ini. Bang Panca menganjurkanku untuk ikut sepupunya Ringgi Ranggina Sarungallo ke Palopo. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya memutuskan untuk pergi, apalagi saya hanya tinggal duduk manis saja dalam mobil. Saya mengiyakan tawaran tersebut dan nanti sepupunya akan menjemput  jam 10.30. Sungguh baik sekali orang Toraja.

 

Obrolan dilanjutkan, Bu Panca bercerita mengenai keluarganya disini. Rata-rata anak Toraja hobi merantau dan bahkan wajib merantau sebagai bentuk kebanggaan keluarga. Seperti Bang Panca sendiri sebagai orang Toraja yang besar di Manokwari dan katanya pernah kerja juga di Jawa dan Kalimantan. Sambil terus berbincang, Bu Panca  berkata bahwa ia sangat tertarik mengenai pariwisata dan ingin membuka homestay. Saya mencoba memberi sedikit masukan. Ketika saya mengutarakan bahwa salah satu kendala pengembangan pariwisata di daerah pada umumnya, yaitu pro-kontra masyarakat sekitar mengenai pariwisata, Bu Panca hanya tersenyum dan memberitahu kita -sebutan untuk mereka sendiri- bahwa Pak Panca ‘memegang’ wilayah ini. Analogiku langsung berfikir pada kepala RT dan RW. Ternyata lebih dari itu! Pak Panca dapat dengan mudah memberikan keputusan siapa yang boleh tinggal dan siapa yang tidak boleh tinggal di wilayahnya! Waduuuh kaget lagi deh!. Pak Panca adalah Kepala Adat alias orang penting di sini!

 

Tak terasa sudah jam 10.15 saya pun izin untuk mandi. Setelah selesai membersihkan diri, ternyata sudah ada Bang Ringgi dengan temannya menjemputku menggunakan mobil plat merah.  Saya memutar memoriku saat diskusi dengan para pemuka adat Toraja bahwa pekerjaan yang paling diminati pemuda di sini adalah menjadi Pegawai Negeri Sipil. Saya berpamitan dan kami pun pergi ke Palopo.

 

Bang Ringgi adalah seorang jaksa, sangat bersahabat dan menyenangkan, dia bilang bahwa perjalanan ke Palopo dapat diarungi kurang lebih satu setengah jam.  Maksud Bang Ringgi ke Palopo adalah berbelanja. Memang di Rantepao tidak ada mall, sehingga Palopo sebagai kota yang lebih besar dari Rantepao menjadi alternatif untuk dikunjungi warga Rantepao dan sekitarnya. “Palopo panas” ujarnya. Memang karena Palopo secara geografis berada di dekat pantai -pikirku mana ada pesisir yang dingin, hhe-

 

Berbeda dengan Bang Panca, Bang Ringgi hanya kerja lima hari seminggu sehingga lebih leluasa jalan-jalan ke Palopo. Kami mengobrol mengenai Mangrara -syukuran rumah adat yang baru dibangun dan direnovasi dan dilakukan oleh beberapa orang- dalam perjalanan kami ke Palopo. Juga mengobrol mengenai Rumah Tamben yaitu Tongkonan yang terdapat di dekat rumah Bang Panca dan sering dikunjungi oleh orang Jepang. Otakku harus mulai membiasakan diri dengan beberapa istilah baru.

 

Di tengah perjalanan, mobil yang kami tumpangi dipinggirkan dan ternyata benar dugaanku. Ada orang yang meninggal. Motor dan mobil berduyun-duyun seperti ber-demo membawa bendera warna putih. Cukup panjang juga antrian ini!

 

Sembari melihat pemandangan, kami mengobrol mengenai upacara Manene yang akan dilaksanakan di Baruppu’ Senin nanti. Saya sangat penasaran dan tidak akan melewatkan momen langka tersebut dengan mengesampingkan bahwa yang nanti dilihat adalah jenazah yang mengering. Langka juga karena pemilihan waktu upacara Manene dilakukan tergantung keluarga yang akan melaksanakan, tidak ada waktu pasti penyelenggaraannya. Tergantung dari waktu yang tersedia, uang dan kesiapan lainnya.

 

Silahkan klik www.visitotorajautara.info untuk mendapatkan informasi  jadwal upacara adat Toraja.

 

Masih dalam perjalanan menuju Palopo, terlihat juga benda seperti bale-bale dari bambu berjajar; Bang Ringgi mengatakan bahwa itu adalah bale yang dibuat untuk upacara kematian. Bisa jadi di sinilah rumah orang yang meninggal yang dibawa oleh rombongan tadi. Sejak saya di Toraja, rasanya ada saja yang meninggal dan masyarakat berduyun untuk mengantar. Namun tidak semua langsung mengadakan upacara kematian. Bang Ringgi memberi usul apabila ingin mengetahui daerah mana saja yang sedang ada upacara, carilah informasi dari komunitas yang ada di sini, seperti komunitas fotografi Toraja.

 

Hal lucu lain yang saya temui sepanjang jalan adalah banyak sekali kerbau yang sedang merumput. Tidak ada gembalanya dan mereka kadang melenggang dengan asiknya di tengah jalan tanpa memerdulikan kendaraan yang melintas.

 

Bang Ringgi menambahkan bahwa konon kerbau tersebut didoakan oleh pawangnya jadi anti dicuri dan bisa pulang sendiri! Bahkan apabila ada yang nekat mencuri kerbau, kerbau tersebut akan terasa berat sekali untuk dibawa. Pernah ada juga mobil yang menabrak kerbau secara tidak sengaja; kerbaunya tidak apa-apa, mobilnya yang rusak. Agak lucu campur seram juga mendengarnya.

 

Setengah perjalanan sudah terlewati, kami mampir ke warung pinggir jalan dengan pemandangan kota Palopo dari ketinggian. Terdapat beberapa mobil dan bis yang terparkir di pinggir jalan sehingga agak menghalangi visabilitas dan sepertinya selalu menyebabkan kemacetan. Untungnya sekarang sedang sepi. Di sana dijual makanan berat maupun ringan. Menariknya lagi, banyak pedagang asongan yang menawarkan Baje Mandar sampai datang ke mobil kami. Baje adalah sejenis dodol yang terbuat dari beras ketan dan kelapa yang ditumbuk dan diberi gula merah. Saat ini diberi inovasi berupa kacang di dalamnya. Saya membeli satu plastik kecil seharga lima ribu rupiah. Sebatas penasaran saja. Awalnya saya mau makan siang karena pagi tadi hanya makan mie saja, namun Bang Ringgi usul agar kita makan siang nanti saja di Palopo, sekitar 30 menit lagi. Oke, berarti tempat ini tidak di tengah-tengah antara Rantepao-Palopo. Dasar sotoy. Keluh sendiri.

 

Kami hanya pesan teh hangat saja dan sebagai informasi, ternyata saya ditraktir lho! Enak sekali, sudah numpang ditraktir pula.

           

Perjalanan dilanjutkan, saya ditanya apakah suka durian atau tidak. Sebagai (katanya) makhluk yang tidak beruntung -karena tidak suka durian-, saya menjawab tidak. Bang Ringgi yang awalnya mau beli durian di Palopo (harganya murah) tidak jadi beli karena baunya takut mengganggu. Jadi tidak enak juga, huhu. Tapi biarlah, toh Bang Ringgi dapat kembali lagi apabila menginginkannya. 

 

Oya sepintas mengenai jalan akses, di sepanjang jalan terdapat papan bertuliskan ‘awas longsor’, ‘bersama kita cegah kebakaran hutan’, dan beberapa layanan tambal ban. Hanya beberapa dan sangat jarang. Sayangnya tidak ada lampu penerangan. Berbahaya juga. Apalagi ada truk-truk kecil yang rajin mewarnai perjalanan ini.

 

Tidak disangka saya melihat sekelompok bule (5-6 orang) sedang mengayuh sepeda mengikuti mobil sewaan mereka sebagai pemandu sekaligus pengangkut sepeda. Waaah seru! Lagi-lagi saya menahan diri untuk tidak lompat dari mobil. Saya sangat suka bersepeda, apalagi pemandangan disini sangat indah.

 

Namun sepertinya apabila saya mau mencoba, harus sewa mobil juga karena sepanjang jalan tidak ada shelter maupun fasilitas lain untuk mendukung kegiatan bersepeda. Jadi mahal.

 

Akhirnya sampai juga kami di Palopo. Sesegera mungkin kami menuju tempat makan yang biasa Bang Ringgi datangi karena ternyata dia sudah pernah kerja di Palopo selama 11 bulan sebelum pindah ke Rantepao. Rumah Makan Ulu Bale Laut termasuk banyak dikunjungi hari ini. Menu yang disajikan hampir semua seafood. Setiap berkunjung ke daerah baru, saya selalu mengusahakan memilih makanan yang khas di tiap restoran -terlihat dari nama menunya yang asing di telinga-

 

Dipilihlah Parede Ulu Bale Laut sebagai makanan siang dan Jus Nederland. Parede Ulu Bale Laut merupakan kepala ikan kakap yang diberi kuah -tanpa santan- yang rasanya cukup enak namun bukan menjadi favorit saya, sedangkan Jus Nederland ternyata Jus Tamarillo juga, bedanya disini diberi susu sedangkan di Rantepao tidak. Bang Ringgi berkata bahwa Tamarillo di Palopo didapat dari Rantepao juga, jadi kalau mau Jus Tamarillo yang enak ya beli di Rantepao. Pada saat saya mau bayar, ternyata tidak diperbolehkan oleh Bang Ringgi, saya ditraktir lagi. Menang banyak deh hari ini.

 

Tujuan selanjutnya adalah Palopo City Market. Bang Ringgi ternyata memborong beberapa pakaian di Matahari -saya intip totalnya lebih dari 500 ribu- dan ke salon untuk potong rambut. Hmmmm, jangan berfikiran saya si kepo yang melihat barang belanjaan sambil gigit jari, tapi poin pentingnya adalah memang orang ‘berduit’ di Rantepao akan bingung berbelanja, seringnya mereka ke Makassar (8 jam perjalanan). Bila waktunya terbatas, akan ke Palopo selama 1,5 jam di jalan. Hmmm, seperti itu.

 

Setelah selesai mengantar dan berkeliling, kami pun segera pulang agar tidak terjebak gelap di perjalanan karena harus melewati cagar alam seperti di perjalanan sebelumnya.

 

Singkat cerita sampai rumah keluarga Panca sekitar jam 18.00; saya langsung ditawari daging kerbau oleh Bu Panca! “Waaah ko bisa dapet Bu?” tanya saya spontan.

 

Ternyata karena Pak Panca adalah Kepala Adat disini, beliau pasti akan mendapatkan sebungkus daging kerbau apabila ada yang menyembelih! Waaaaw, beruntungnya saya.

 

Bang Ringgi bilang bahwa daging kerbau paling enak di dendeng, walaupun yang kucoba bukan dendeng, tapi cukup enak. Agak alot dan teksturnya padat. Rasa seperti daging sapi namun berbau agak tajam seperti domba -lebih parah domba sih.

 

Kesempatan tinggal bersama keluarga Toraja sangat menyenangkan dan penuh kejutan!  Alangkah beruntungnya bisa merasakan suasana berbeda dengan tempat tinggal sebelumnya.

 

 

Bagian Ketiga:

Lebih dari Sekedar Keseharianku di Rantepao!

 

 

Seperti hari-hari sebelumnya, sudah ada kopi dingin yang disiapkan oleh Bu Panca. Bukan dingin karena sengaja dibuat dingin, namun dingin karena sudah dibuat sejak pagi dan cuaca membuat kopi sangat cepat menjadi dingin.

 

Bang Panca sudah berangkat kerja, dan Pak Panca menghadiri acara keluarga. Katanya ada yang mau dimakamkan. Berarti di rumah hanya ada Bu Panca.

 

Saya dibangunkan untuk sarapan. Ada makanan tadi malam berupa ikan bolu bakar dan ikan bolu kuah. Ikan bolu itu rasanya seperti ikan bandeng. Entah namanya sama atau bagaimana, namun pasar tradisional di Rantepao juga bernama Pasar Bolu padahal tidak hanya Ikan Bolu saja yang dijual disana. Saya mencoba untuk memasak mie goreng juga. Akhirnya saya makan dengan mie dan ikan bolu bakar.

 

Banyak sekali yang harus dikerjakan hari ini terutama mengolah data untuk laporan yang belum kunjung selesai, sehingga saya memutuskan untuk tidak pergi jauh dari tempat tinggal sekarang.

 

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Cucian sudah menumpuk sehingga saya harus keluar juga untuk mencari laundry dan makan di salah satu rumah makan halal di Rantepao. Bukannya tidak mau mencuci sendiri, tapi karena waktu terbatas dan tidak mau merepotkan Bu Panca untuk mengambil cucianku yang kehujanan -hampir tiap hari hujan- dipilihlah laundry, salah satu fasilitas penunjang pariwisata yang harus kucoba.

 

Saya mulai mencari 'My Laundry' kepunyaan temannya Bang Panca. Sayangnya tidak berhasil. Saya malah kehilangan arah dan nampaknya sudah tembus kejauhan menuju ke Pasar Bolu. Saya mendapat info bahwa tadi pagi adalah hari pasar yaitu hari dimana orang-orang berkumpul untuk bertransaksi besar-besaran. Banyak kerbau yang diperjual-belikan tadi pagi. Sayang sudah siang sehingga terlambat. Tapi jangan khawatir, hari pasar selalu dilaksanakan seminggu sekali walaupun penentuan harinya berbeda. Misalkan minggu ini hari Senin adalah hari pasar, minggu depan adalah hari Minggu, dan minggu depannya lagi adalah hari Sabtu, begitu seterusnya.

 

Karena sudah merasa pasrah tidak menemukan 'My Laundry', akhirnya saya memilih Cikita Laundry di jalan Poros. Tempatnya cukup bersih. Ibu penjaga laundry langsung membawa baju-baju kotor saya dan menulis angka dua puluh ribu di nota. Padahal saya belum tahu berat cucian tersebut. Lucu juga ya. Cikita Laundry buka dari jam 08.00 sampai 19.00 dan apabila kita mencuci lebih dari 5kg, gratis ongkos kirim. Tawaran yang menarik juga untuk   wisatawan Toraja.

 

Sepanjang jalan poros saya mencari rumah makan atau restoran halal. Tak disangka menemukan rental mobil/motor. Iseng saja saya masuk dan ternyata petugasnya tidak ada. Ibu penjual pulsa bilang bahwa mobilnya sudah habis dirental semua! Hmmmm, banyak yang sewa ternyata. Wajar karena bulan ini termasuk peak season-nya Toraja. Poin penting di sini adalah hati-hati tidak kebagian rental mobil/motor pada saat peak season!

 

Tidak lupa saya men’catat’ kontak yang bisa dijadikan referensi apabila suatu saat diperlukan.

 

Perjalanan menggunakan motor dilanjutkan, akhirnya saya menjumpai hal unik, ada kerbau di pinggir jalan raya dan diikat. Saya berhenti sebentar dan bertanya pada pemuda yang berada disana. Dia bilang bahwa kerbau tersebut dipajang di sana agar kena sinar matahari. Aneh juga ya, atau saya yang aneh karena baru tahu.

 

Selain tertarik dengan kerbau yang berada di pinggir jalan, saya pun tertarik dengan billboard bertuliskan “Karaoke Keluarga” di sebelah kerbau tersebut. Terlintas pernyataan dari narasumber beberapa minggu yang lalu bahwa di sini kurang tempat hiburan bagi pemuda-pemudi. Saya masuk ke sana untuk melihat bagaimana tempat karaoke versi Rantepao. Tempat karaoke tersebut sudah buka pada saat saya datang yaitu jam dua siang.

Untuk mendapatkan brosur, saya harus naik tangga dahulu. Ternyata tidak ada brosur. 

 

Saya harus melihat secara langsung daftar harga per-kamar karaoke tersebut. Kisaran harga sekitar 30-50 ribu per-jam. tergantung kamar seperti apa yang dipilih. Saya intip penasaran kamarnya, ternyata ruangannya kotor dan penuh tisu bekas bergumpal-gumpal di sofa nya!

 

Saya kembali mengendarai motor dengan sangat pelan untuk melihat sekeliling jalan di Rantepao. Sangat tenang dan menyenangkan. Untuk kebutuhan sehari-hari sudah lengkap di sini. Mata terpicing ketika melihat ada tulisan outdoor-gear. Saya melipir sebentar dan melihat beberapa peralatan outdoor disana.

 

Sambil melihat-lihat, saya tertarik dengan café di sebelah toko. Ternyata ada tulisan ‘komunitas bersepeda’. Saya berfikir betapa aktifnya pemuda disini dengan komunitas sepedanya. Terbukti dengan adanya dua café yang kutemukan khusus untuk komunitas sepeda contohnya seperti Kinaya Café yang berada di jalan utama Rantepao.

 

Singkat cerita saya membeli jas hujan. Harga outdoor gear-nya pun hampir sama dengan harga di Bandung. Hanya memang pilihan tidak selengkap di Bandung. Hal yang menarik adalah hampir setengah dari peralatan yang dijual di sana adalah peralatan sepeda. Hal tersebut makin memperkuat pemikiranku bahwa kegiatan bersepeda sangat digemari. Sayangnya tempat penyewaan sepeda untuk wisatawan, tidak mudah saya temukan.

 

Walaupun menemukan beberapa rumah makan umum dan rumah makan Padang, saya tetap melanjutkan perjalanan kembali menuju pusat kota untuk mencari rumah makan muslim. Pasti ada disini.

 

Beberapa saat kemudian saya menemukan Rumah Makan Muslim Madinah. Tidak lupa saya foto keadaan luar dan dalamnya. Secara keseluruhan saya sangat menyukai rumah makan ini. Rumah Makan Muslim Madinah menyediakan makan pagi, siang dan malam dengan delivery service. Makanan disajikan seperti RM Padang -pilih sendiri- namun Ibu penjaga menganjurkan untuk memilih makanan yang tidak dibakar karena arangnya belum panas. Saya memilih ayam goreng dan es jeruk.

 

Diberikan juga air mineral gelas dengan alunan lagu dari radio. Ada sekitar sepuluh orang tamu berdatangan setelah saya duduk. Agak lama saya diam di sana sambil menunggu hujan reda. Sambil memerhatikan sekitar ruangan, saya melihat terdapat pot bunga besar di pojok ruangan. Sayangnya, pot bunga sebagai pemanis ruangan tersebut berisi bunga kertas, bukan bunga hidup. 

 

Niat untuk pulang cepat ditolak mentah-mentah oleh cuaca disini. Hujan  tak kunjung reda sehingga tertahan di sini.

 

 

Bagian Keempat:

Kesempatan Menarik!

 

 

Sudah sekitar seperempat bulan saya tinggal di Rantepao. Tinggal di sini tidak sesepi yang dibayangkan sebelumnya. Rantepao hampir sama dengan tinggal di Bandung. Iklim sejuk, panorama indah, warga lokal yang ramah serta fasilitas publik yang sudah cukup tersedia. Perbedaannya, disini tidak ada mall seperti Parijs Van Java dan fasilitas hiburan lainnya. Saya harus ke Makassar atau minimal Palopo untuk melihat itu semua.

 

Sekarang ini Toraja diidentikkan dengan dua Kabupaten: Tana Toraja dengan ibukotanya Makale danToraja Utara dengan ibukotanya Rantepao, meski sebenarnya lebih luas lagi sampai ke Mamasa dan Luwu. Pada dasarnya Tana Toraja atau Toraja Utara, keduanya saya anggap satu kesatuan saja, karena sebagai wisatawan, saya tidak terlalu memerdulikan batas administarsi.

 

Suatu hari saya mendapatkan tawaran menarik. Kabarnya Pak Panca sebagai Ketua Adat disini sekaligus sebagai anggota keluarga akan menghadiri pertemuan untuk membicarakan mengenai pembuatan pondok sebagai salah satu syarat prosesi awal upacara pemakaman disini.

Tentu saja saya tertarik untuk hadir. Apalagi saya tinggal duduk manis di kursi tengah mobil dan sekalian ikut makan-makan karena akan banyak makanan tersaji untuk tamu.

 

Sebagai satu-satunya anak yang tinggal bersama orang tua -karena tiga kakaknya merantau semua- Bang Panca membantu pekerjaan orang tuanya. Bang Panca mengajakku untuk melihat kerbau milik mereka di belakang rumahnya. Dia membawa ubi untuk pakan kerbau, binatang yang terkenal sangat mahal harganya di Toraja. Kerbau selalu dipergunakan untuk berbagai upacara.

 

Saya penasaran bertanya harga kerbaunya kalau dijual. Ternyata mencapai 30 juta; sedangkan harga kerbau putih mencapai ratusan juta. Pantas saja anak-anak Toraja merantau. Mungkin untuk mengumpulkan uang yang banyak dan bekal masa depan dan untuk beli kerbau. Tidak tahu juga.

 

Selain kerbau, ada juga kolam ikan mas dan tanaman Bu Panca. Ruang terbuka di rumah Bang Panca memang luas. Saya pikir lingkungan rumah seperti ini dapat dikemas menjadi paket wisata yang menarik untuk wisatawan mancanegara penyuka aktivitas pedesaan. Bahkan, ini pertama kalinya saya –pura-puranya orang kota- memegang kulit kerbau sekalian tanduknya yang mencuat. Terasa kasar dan tebal.

 

Kami berangkat pukul 11.30. Tidak lupa saya ditawari untuk makan dulu di rumah. Keluarga ini tidak menganggap saya seperti orang asing, saya diperlakukan seperti anggota keluarganya sendiri.

 

Tempat pertemuan keluarga tidak begitu jauh. Mobil diparkir di pekarangan rumah. Suasana sudah ramai dengan anggota keluarga lain. Sekitar empat puluh orang, mungkin. Ada ibu-ibu dan pemudi yang menyiapkan makanan serta bapak-bapak dan pemuda yang sudah duduk melingkar memenuhi setiap lumbung. Ada sekitar tujuh lumbung disana.

 

Pak Panca langsung menuju lumbung paling ujung bergabung dengan sesepuh di sana, sedangkan saya dan Bang Panca menuju lumbung yang berlawanan dan ikut bergabung bersama bapak-bapak dan pemuda yang sedang sibuk main gapleh.

Ternyata banyak juga pemuda dan pemudi yang ikut dalam acara ini. Poin pentingnya adalah kekeluargaan di sini masihlah erat.

 

Ketika duduk, kami diberi secangkir kopi dan ubi untuk camilan sambil menunggu acara dimulai.  Mereka tertawa dan mengobrol dengan bahasa daerahnya. Lucu sekali bahasa daerah terdengar di telinga. Kegiatan itu berhenti ketika seorang bapak mulai berbicara menggunakan pengeras suara. Permainan gapleh terhenti dan perhatian pun terpusat pada bapak itu. Tentu saja saya hanya diam. Tidak mengerti apa yang disampaikan. Mungkin pembukaan acara atau sambutan (?) entahlah.

 

Setelah bapak itu selesai berbicara, permainan gapleh berlanjut. Karena penasaran saya bertanya pada Bang Panca. Ternyata tadi itu bukan pembukaan acara tapi do’a untuk makan! Weeew, kelewat donk. Keluh dalam hati, tahu gitu saya ikut berdoa juga. Disini saya menyadari pentingnya penterjemah pribadi.

 

Dengan cekatan lima ibu dan dua pemudi mendatangi masing-masing lumbung untuk memberikan makanan. Seakan sudah paham, Bang Panca langsung menjauhkan salah satu sajian di piring dengan bumbu pamerasan[7] . Pasti itu adalah daging babi. Saya absen satu per satu, ada ikan, telur, babi pamerasan, air mineral kemasan gelas dan air kobokan. Kami menggunakan kertas nasi uduk sebagai piring makan, tanpa alas piring. Uniknya kertas nasi uduk itu dilipat segiempat seperti origami. Saya memilih ikan dan telur yang telah diberi sambal diatasnya. Ikannya enak dengan bumbu sambal pedas.

 

Selesai makan, ibu-ibu kembali berpencar datang dan membereskan bekas makan kami. Ada pemudi yang menyuplai lagi kopi dan ubi. Kami merokok dan sebagian lainnya mulai berkumpul kembali di lumbung masing-masing. Sepertinya acara akan dimulai.

 

Benar saja, muncul bapak lain -Bang Panca berkata bahwa yang tadi adalah majelis yaitu orang yang ditugasi untuk berdoa- sedangkan yang ini adalah pihak keluarga yang akan mengadakan upacara pemakaman. Untung saya punya penterjemah. Terbayang kalau ke sini sendiri, bisa jadi saya ketiduran dalam keramaian karena tidak mengerti apa yang dibicarakan disini.

 

Secara singkat, diskusi berisi berbagai hal teknis dalam pembuatan pondok termasuk pembentukan panitia. Moderator membuka diskusi dengan mendengarkan masukan dari pihak yang diundang. Sepertinya diskusi mulai seru karena ada perdebatan, saya bertanya pada Bang Panca. Ternyata mereka memperdebatkan mengenai tempat dalam pemakaman dan bahan baku dalam pembuatan pondok. Oya, sebelum kami berangkat, Bang Panca membawa sarung. Tidak seperti biasanya. Saat saya memperhatikan bapak-bapak dan pemuda disini, kebanyakan juga membawa sarung. Ternyata mereka membawa sarung memang kebiasaan dari dulu. Cuaca dingin dan angin yang berhembus kencang menjadi alasan mengapa mereka membawa sarung. Awalnya saya kira sarung adalah salah satu ‘dresscode’. Agak sedikit kurang percaya diri juga, saya kan tidak bawa sarung sekarang.

 

Sebagai info tambahan, jumlah orang yang hadir sekitar 30-an. Terlihat juga beberapa anak kecil bermain sambil menunggu orang tua mereka rapat. Sekitar jam tiga sore rapat ditutup, tentunya oleh pihak keluarga. Hal penting yang dapat kupetik disini adalah, ini bisa jadi aktivitas baru atau aktivitas wisata tambahan bagi pengunjung yang kebetulan sedang berada di Toraja, yaitu melihat prosesi rapat. Jangan lupa pemandu adalah faktor penting di sini. Karena seluruh prosesi menggunakan bahasa lokal, bukan bahasa Indonesia.

 

Setelah selesai acara, Bang Panca bergabung untuk bermain kartu bersama pemuda disana. Sambil menunggu, saya berkeliling. Menunggu lama. Kurang lebih saya menunggu dua jam hingga permainan kartu selesai. Yaaah apa boleh buat.

 

 

Bagian Keempat:

Ma’nene’!

 

Suatu hari, saya diajak untuk melihat upacara Ma’nene! Ma’nene merupakan upacara penyucian jenazah oleh keluarga yang ditinggalkan dengan maksud melepas rindu pada waktu tertentu di desa tertentu dan hanya orang tertentu yang bisa tahu. Beruntungnya saya.

 

Sebagai persiapan pribadi, sehari sebelumnya saya diantar Bang Panca ke rumah Bang Endi Allorante untuk bertemu dahulu. Bang Panca sekarang bisa jadi adalah kakakku ketika di Toraja karena selalu membantu dan mengatasi semua kesulitanku ketika di lapangan.  Bang Endi adalah sepupu Bang Panca. Senang sekali dapat teman yang pas! Bang Endi termasuk salah satu senior dalam komunitas fotografi di Rantepao, sehingga apabila ada acara atau event menarik untuk diambil gambarnya, Bang Endi akan tahu dan pasti langsung mengejar momen langka tersebut. Seperti upacara jenazah hidup ini. Jenazah hidup yang  masih sering dibicarakan sebagai daya tarik oleh orang luar Toraja.

    

Alarm berbunyi kencang pukul empat pagi. Saya langsung bangun dan bergegas ke kamar mandi. Cuci muka dan gosok gigi saja tentunya karena suhu udara pagi itu sangatlah dingin. Sekitar 16°C. Menyesalnya lagi saya hanya membawa satu jaket saja untuk bertahan dari terpaan angin pagi khas pegunungan ini.

Bang Panca yang entah kenapa lebih suka tidur di ruang tamu dibandingkan di kamarnya, ikut bangun karena mendengar alarm. Dia juga mengeluhkan dingin dan malas sekali untuk ke luar jam segini. Saya hanya tersenyum menyadari bahwa orang Toraja juga bisa merasakan dingin di daerahnya sendiri. Saya kira kuat.

 

Berangkatlah saya menuju rumah Bang Endi di pusat kota Rantepao. Sarung tangan dan sepatu wajib untuk dipakai. Tas daypack 50 liter pun disimpan di depan dada untuk menghalangi hembusan angin dingin pagi ini. Saya tidak mau masuk angin karena tidak sempat sarapan.

 

Beruntungnya saya datang lebih awal dan tidak ditinggalkan oleh Bang Endi. Saya menunggu Bang Endi selama lima menit sambil melihat-lihat studio foto sederhana Bang Endi. Bang Endi ternyata membuka studio foto. Keren juga, apalagi desain interior kantor sekaligus rumahnya minimalis. Sesaat terasa ingat desain rumah Bandung, bukan di Toraja -gejala homesick dimulai-

 

Jam 05.10 kami berangkat. Bang Endi menggunakan Mio-nya, tidak menggunakan motor trail agar saya tidak tertinggal jauh dibelakang. Maklum dengan hampir keseluruhan jalan pedesaan kondisinya rusak, motor trail adalah pilihan terbaik di sini. Oya, upacara Ma’nene’ akan dilaksanakan di Baruppu’. Kawasan utara Rantepao yang bisa dicapai dengan waktu kurang lebih dua jam perjalanan menggunakan motor. Kami berangkat subuh karena Bang Endi ingin mendokumentasikan matahari terbit dalam perjalanan menuju Baruppu’ untuk referensi fotonya. Tentu saja saya tidak menolak, karena akan semakin tahu lokasi  terbaik untuk foto-foto di kawasan Toraja Utara.

 

Sayang sekali kelokan, dingin dan kebut-kebutan tidak membawa hasil yang baik. Kabut menutupi sunrise yang kita incar. Alhasil, kami langsung melanjutkan perjalanan ke Baruppu’ dengan jalan yang rusak dan hanya bisa dilewati oleh satu mobil saja serta kabut yang tak kunjung menipis.

 

Akhirnya tiba juga kami di Baruppu’. Bang Endi langsung menuju penginapan dimana ada empat orang temannya dari komunitas fotografi yang sudah menunggu semalam sebelumnya. Saya berkenalan dengan mereka.  Kebanyakan mereka sudah bekerja dan ‘bolos’ secara khusus untuk hari ini, ada juga jurnalis Tempo datang demi meliput Ma’nene’. Saya semakin yakin bahwa tidak sia-sia dan akan menemukan pengalaman baru dengan taruhan berdingin-dingin datang ke Baruppu’.

 

Obrolan kami terhenti ketika mendengar riuh terdengar.

 

Lucu juga melihat perayaan Agustus-an disini. Siswa-siswi SMP Baruppu’ membentuk barisan dan melakukan parade musik. Bang Endi langsung berlari dan memotret momen menarik tersebut. Oya, sedikit informasi mengenai penginapan yang sedang kami singgahi ini, berada tepat di depan lapangan SMP Baruppu’ dengan pemandangan pegunungan berkabut yang sangat menyejukkan. Harga satu kamar hanya 150 ribu per malam dan dapat diisi ber-empat oleh teman-teman komunitas untuk bertahan selama dua hari demi menunggu upacara Ma’nene’. Sambil bertukar cerita, ternyata rangkaian upacara Ma’nene’ tidak hanya satu hari namun berhari-hari. Saya dan Bang Endi datang hanya pada hari terakhir dalam rangkaian upacara Ma’nene’ ini, semoga masih sempat melihat jenazah yang ‘disucikan’ karena teman-teman komunitas dari kemarin hingga saat ini belum mendapatkan sesuatu yang mereka harapkan. Entahlah, mungkin hasil fotonya belum memuaskan atau masih kurang.

 

Tidak lupa saya ikut menyantap roti goreng isi gula merah sambil meminum kopi Toraja sebagai syarat untuk sarapan pagi ini tanpa melepaskan sarung tangan karena udara masih dingin menusuk tulang.

 

Setelah semua persiapan beres, kami segera berangkat lagi. Ternyata tempat Ma’nene’ berada tidak jauh dari penginapan yang kami singgahi. Sekitar tiga puluh menit kami disuguhi pemandangan menakjubkan! Betapa tidak, saya melihat tebing tinggi dengan hamparan sawah di bawahnya. Beruntung, setiap menemukan spot menarik, para pemburu gambar langsung mengabadikannya di kamera mereka masing-masing. Satu orang satu kamera dan saya yakin kameranya ‘tidak sembarangan’.

 

Setelah dekat dan agar memastikan kami tidak tersesat, kami bertanya pada salah satu penduduk disana. Seorang bapak tua berumur 70-an. Dia langsung memberi tahu kami dengan antusias dan mengajak kami untuk datang ke desa mereka karena pihak keluarga yang melaksanakan upacara Ma’nene’ masih melakukan persiapan. Kakek tua itupun langsung nebeng di motor saya untuk menuju rumah keluarga tersebut sebagai pemandu arah. Agak canggung, saya mencoba mengakrabkan diri dengan kakek ini, basa-basi.

 

Biasanya saya hanya melihat Pa’piong[8] disajikan di meja restoran Toraja tanpa melihat proses pembuatannya. Kali ini saya beruntung karena melihat pembuatan pa’piong babi secara langsung!

 

Kurang lebih ada dua puluh orang yang sibuk ke luar masuk rumah keluarga yang akan melaksanakan Ma’nene’. Kami langsung disuguhi kopi Toraja yang sudah siap dalam teko super besar. Saya seruput kopi tersebut sambil melihat-lihat pa’piong yang dibakar dari dekat. Tentu saja Bang Endi dkk sudah menyerbu dengan kameranya tanpa menghiraukan kopi terlebih dahulu. Saya berbincang sedikit dan ternyata Ma’nene’ dilaksanakan selalu pada bulan Agustus dan saat ini bertepatan dengan PKB (Pertemuan Keluarga Baruppu’) saat dimana para anggota keluarga Baruppu’ yang merantau akan kembali setelah empat tahun. Lagi-lagi saya beruntung.

 

Setelah puas mengerumuni pa’piong, kami diajak berkeliling desa untuk melihat satu rumah Toraja kuno yang tidak boleh dihancurkan, namanya adalah Pemantik. Konon rumah Toraja ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.

 

Jalan semakin rusak ketika menuju tebing pemakaman. Kami mengendarai motor menuju kesana, sedangkan penduduk desa berduyun-duyun berjalan kaki. Mereka menggunakan baju dominan berwarna hitam dan putih.

 

Saya sempat diam selama 10 detik untuk menikmati pemandangan spektakuler disini. Betapa besar dan megahnya makam tebing dengan langit biru sebagai bingkai.  Kemegahannya  tidak kalah dengan objek wisata Lemo. Tapi pertanyaannya, apakah boleh tempat ini dijadikan objek wisata? Mungkin suatu saat nanti.

 

Ketika semua orang sudah berkumpul di depan pemakaman tebing, beberapa bapak berusaha memotong bambu dan mengubahnya menjadi tangga. Mereka mulai memanjat tebing satu per-satu. Satu lubang dimasuki oleh empat sampai lima orang lelaki dari usia muda sampai tua. Siapa saja yang bisa naik sepertinya diperbolehkan membantu. Dan, satu gundukan seperti guling besar memanjang pun keluar.

 

Sempat merinding melihat jenazah yang telah lama disimpan dan dibungkus menjadi seperti kepompong hanya berjarak 1.5 meter dari tempat berdiri. Namun saya memberanikan diri untuk mengabadikan momen langka ini. Keluarga terdekat mulai menangis terisak-isak ketika jenazah ditidurkan di tanah. Duka keluarga yang ditinggalkan memecah keheningan disana. Setelah mereda, dibukalah gundukan kain dalam plastik yang telah disiapkan sebelumnya.

 

Isinya adalah baju dan celana baru. Baju tersebut ditempelkan di atas jenazah dan diatur posisinya. Pakaian sejajar dengan badan  dan celana sejajar dengan kaki. Tidak hanya satu pasang baju, namun beberapa baju yang diletakkan di atas jenazah. Prosesi dilanjutkan dengan membungkus jenazah dengan kain baru, saya hitung ada lebih dari lima lembar kain yang dilapiskan. Pantas saja bentuknya besar, makin tahun makin tebal karena dilapis terus. Beberapa ibu dan bapak yang tidak membantu membalut, bernyanyi menggunakan bahasa lokal. Menambah kesan mistis upacara Ma’nene.

 

Tidak puas dengan upacara Ma’nene di sini, para pemburu gambar berdiskusi. Kelihatannya mereka membicarakan sesuatu mengenai Ma’nene yang diselenggarakan di tempat lain. Sambil melihat jenazah nomor tiga diturunkan, saya bertanya pada Bang Endi dan ternyata memang benar ada upacara Ma’nene lainnya, namun informasi masih simpang siur. Katanya upacara tersebut lebih menarik, jenazah tidak dibalut seperti ini namun diganti bajunya.

 

Saya hanya mengangguk pelan karena masih teralihkan oleh jenazah pertama yang sedang dinaikkan kembali ke lubang asalnya diiringi tangisan keluarga terdekat.

Tidak lama kemudian, kami berpamitan dan berterimakasih kepada keluarga yang telah mengijinkan kami melihat upacara Ma’nene di Baruppu’. Saya teringat oleh ajakan kakek tua yang nebeng di motor saya untuk singgah dan minum kopi bersama setelah upacara. Tapi saya memutuskan ikut pergi sekarang, daripada ditinggal sendiri di sini. Seram juga.

 

Sama seperti sebelumnya, ternyata kami tetap perlu bertanya pada orang sekitar dan hilang arah ketika menuju desa lain yang menyelenggarakan Ma’nene. Tidak ada petunjuk arah sama sekali di sini. Jalan semakin sempit dan rusak. Kami melewati semak belukar serta pesawahan luas.

 

Bersyukur kami, akhirnya menemukan Ma’nene yang lebih ekstrim!

 

Tas para pemburu ‘gambar’ itu langsung dilempar ke jalan karena antusias dan tidak mau melewatkan ‘gambar’.

 

Jepretan kamera seakan seperti machine gun saat melihat itu. Dua hal yang kulakukan: berdo’a dan bertanya pada masyarakat di sana. Apakah ini boleh difoto? Mereka menjawab dengan senyum gembira. Tentu saja boleh!

 

Entah kenapa tetap saja saya masih agak takut apabila melihat gambar ini. Ini dulunya manusia!

 

Sepulangnya kami tertawa puas, ada beberapa komunitas yang mengunggah foto di jejaring sosialnya, saya enggan.

 

Perjalanan beberapa hari lalu melihat upacara Ma’nene membuat saya bangga sekaligus menguras energi. Bangga karena mendapatkan dua kali momen yang hanya bisa terjadi setiap tiga, lima atau sepuluh tahun sekali -tergantung keluarga yang mengadakan upacara. Ada teman komunitas fotografer yang sudah menunggu momen ini selama tiga tahun. Apalagi pada saat saya pulang ke rumah dan mengobrol, Pak Panca yang ketua adat di sini- berkata bahwa beliau pun belum pernah melihat Ma’nene di daerah utara Rantepao.

 

Tadinya saya pikir, rasa penasaran akan terjawab. Rasa penasaran akan rumor di media internet mengenai legenda jenazah hidup Toraja. Apakah itu benar atau salah, saya pun masih bertanya-tanya hingga hari ini. 

 

 

Bagian Kelima:

Keluar Masuk Hotel!

 

 

Energi cukup terkuras untuk memeroleh pengalaman Ma’nene’, berangkat subuh dan pulang setelah jam tujuh malam. Pegal juga ternyata melewati jalan yang berliku ditambah banyak yang rusak.

 

Tapi jadwal harus tetap berjalan. Saya mempunyai tugas lainnya yaitu berkeliling ‘melihat’ akomodasi atau penginapan di sekitar Toraja, meliputi Rantepao dan Makale sambil menitipkan kuesioner.

 

Ada sekitar belasan akomodasi yang didatangi selama berada di Toraja.

Saya sempatkan juga untuk singgah di toko bunga kertas yang umumnya menggantikan peran bunga asli dalam pesta perkawinan atau lainnya.  Aneh juga di daerah  wisata yang sejuk ini, belum dijumpai bunga hidup yang dijual. Kesempatan untuk sekedar mengambil foto dan sekaligus bertanya mengenai harga bunga kertas yang dijual. Harga bunga ukuran besar 250 ribu rupiah sedangkan untuk bunga ukuran kecil yang biasanya disimpan di meja tamu adalah 115 ribu rupiah. Sebagai referensi, ketika bermaksud meminta kontak, tukang bunga langsung mengambil kartu nama di seberang toko bunga kertas. Ternyata kerajinan bunga ini termasuk dalam usaha Kerajinan Emas/Perak & Manik-Manik yang letak tokonya ada di seberang. Papan nama yang terlalu kecil membuat saya tidak sadar ada toko suvenir disini. Barang yang dijual terhitung lengkap. Mulai dari manik-manik, perhiasan perkawinan, hiasan peti, aksesoris Toraja lainnya (gelang, tas anting kalung, kain) tersedia disini. Saya iseng bertanya harga kalung yang menarik pandangan. Harganya 500 ribu! Mahal karena terbuat dari perak, katanya. Saya mundur perlahan, sambil  bertanya harga gelang yang terlihat lebih murah.

 

Tidak lama setelahnya saya menyempatkan diri untuk mengunjungi akomodasi lain di sekitar Rantepao. Ternyata banyak sekali wisma yang tersebar di jalan poros atau di dekat pusat kota Rantepao. Wisma di Rantepao umumnya ditinggali oleh wisatawan nusantara atau warga luar Toraja - biasanya orang Palopo - yang sedang bekerja di Toraja. Wisatawan mancanegara biasanya mendatangi penginapan yang sudah dituliskan dalam buku wisata atau sudah direkomendasikan oleh situs travel terkemuka. Umumnya buku wisata yang sering kulihat dibawa oleh wisatawan mancanegara adalah Lonely Planet sedangkan website yang sering dijadikan sebagai referensi adalah Tripadvisor.

 

Hari sudah sore dan hujan mulai mengguyur Toraja. Hampir setiap hari hujan di sini, kadang tengah hari, kadang sore hari dan juga tengah malam. Tidak terasa juga saya sudah kembali ke rumah untuk beristirahat.

 

Pintu kamar diketuk oleh Bu Panca untuk berpamitan ke tetangga sebelah sehingga saya akan sendirian sekarang. Ga masalah, tetapi karena hujan dan terlalu dingin, saya hanya bersembunyi di balik selimut sambil menghadap laptop sampai jam makan malam tiba.

 

Jam tujuh malam kami berkumpul untuk makan malam. Kali ini tidak ada daging kerbau, kami makan dengan sop ikan. Sambil menyeruput sop hangat, Bu Panca membuka obrolan bahwa tadi sore ada tetangga yang kesurupan. Untung saya tidak menyemburkan makanan di mulut saking kagetnya. Ada juga ternyata di sini yang kesurupan, saya kira hanya di daerahku saja.

 

Bu Panca bercerita bahwa sekitar dua bulan lalu ada seorang wanita yang meninggal waktu melahirkan. Dia berubah menjadi kuntilanak dan merasuki salah satu anggota keluarganya. Berkat cerita menyeramkan itu, saya bergegas ikut bergabung dengan Bang Panca menonton TV agar tidak terlalu membayangkan hal ini, karena saya masih teringat dengan wajah jenazah saat upacara Ma’nene kemarin. Pak Panca mengubah obrolan menjadi sekitar masalah politik. Dua topik yang sama sekali tidak kusukai.

 

Tiap malam saya selalu tidur jam dua belas malam dan terganggu dengan suara anjing menggonggong dari kejauhan.

 

Selamat yaa Rumba! saya berbicara dalam hati, malam ini adalah malam terhoror, sepanjang hidup.

 

Keesokan harinya kegiatan untuk mengunjungi beberapa penginapan baik itu di Rantepao maupun di Makale berlanjut. Satu hal yang kusuka adalah keramahtamahan  masyarakat Toraja terutama pengelola akomodasi. Seperti ketika menitipkan kuesioner atau angket bagi wisatawan ke Hotel Torsina. Saya bertemu langsung dengan ibu pemilik dan bercaka4p-cakap seru. Kami membicarakan mengenai perkembangan hotel ini sambil menyeruput jus Tamarilo. Baik sekali. Karena seringnya bulak balik ke hotel, saat saya kedatangan tim dan mengajaknya untuk menginap di sini, saya diberikan kemudahan dan tidak usah membayar untuk semalam disini. Baik sekali. Sebagai tanda terimakasih saya memberikan promosi di media sosial untuk teman-teman yang akan mengunjungi Toraja nantinya.

Semoga membantu ya Bu.

 

Cerita lainnya berasal dari sebuah penginapan atau lebih mirip sebuah homestay bernama Pia’s Poppies. Dengan gaya nyentrik-nya pemilik akomodasi ini menceritakan segala sesuatu termasuk perkembangan pariwisata di Toraja. Pantas saja desain penginapan ini agak ‘nyeleneh’, beliau sudah lama berkecimpung di Bali sehingga tahu apa saja yang disukai dan diminati oleh  wisatawan mancanegara termasuk desain. Penginapan ini biasanya hanya khusus untuk wisatawan mancanegara saja, namun beruntungnya kami diperbolehkan untuk menginap di sini. Hampir lebih dari lima hari saya menginap disini. Di samping nyaman, harga menginap per malam pun cukup terjangkau, sekitar 150 ribu per malam. Saya juga menyukai makanan yang dibuat oleh Pak Paul sendiri, enak dengan sajian ‘ala barat’. Berbeda dengan makanan yang disajikan di kebanyakan rumah makan atau restoran di Toraja yang terkadang tidak sesuai dengan lidah.

 

Berbeda dengan Hotel Torsina yang memberikan kamar gratis, Luta Resort Toraja pun tidak kalah ramahnya. Setelah mengobrol dengan Ibu Hani sebagai penanggungjawab kuesioner atau angket yang disimpan, saya diberi sebuah undangan untuk dihadiri. Undangan tersebut merupakan undangan pernikahan keluarga Ibu Hani. Menurut cerita pegawai Luta Resort Toraja, pernikahan yang akan dilaksanakan tanggal 27 September tersebut merupakan salah satu pernikahan paling meriah di Rantepao. Sungguh suatu kesempatan yang langka untuk menghadiri undangan tersebut.

 

Selain hotel bintang, tidak lupa saya mendatangi beberapa wisma lainnya seperti Wisma Monton. Dengan berbagai obrolan dan pendekatan yang baik akhirnya lagi-lagi  saya mendapatkan kesempatan untuk menginap secara gratis dari Ibu Elin apabila mau. Tentu saja saya tidak menolak. Mencoba berbagai jenis akomodasi akan memperkaya pengetahuan tentang layanan inap-menginap di Toraja, yang menjadi bagian dari perhatian saya. Ibu Elin sangat senang apabila saya melanjutkan obrolan ringan mengenai standar pelayanan maupun fasilitas yang harus ada di sebuah homestay. Bagai mendayung dua-tiga pulau, saya dapat membantu mereka sekaligus menyelesaikan tugas.

 

 

Bagian Keenam:

Perpisahan!

 

Tidak terasa sudah hampir dua bulan saya tinggal di Toraja. Mengalami berbagai hal seru, baru dan menyenangkan. Rasa rindu akan rumah mulai terasa juga apalagi ketika saya ditinggalkan lagi oleh teman satu tim.

 

Agak sedih ketika harus mengemasi barang di rumah kedua kali ini. Sehari sebelum pulang saya sempatkan untuk mengunjungi lagi toko suvenir yang diincar pada saat tugas di Toraja. Sekedar membeli buah tangan untuk keluarga dan teman-teman yang ribut meminta ketika tahu sebentar lagi akan pulang.

 

Saya singgah di toko suvenir milik Bang Rain Sumbung. Toko suvenirnya berada di barisan toko yang berada di pusat kota Rantepao. Saya membeli beberapa suvenir ringan -asbak dan boneka tau-tau- untuk teman-temanku. Sumbung memberikan potongan harga dan  berjanji akan ke Bandung untuk mencari tahu beberapa bahan kaos dan alat untuk mencetak desain kaos. Saya menyanggupi untuk menemaninya nanti.

 

Tidak lupa saya juga berkunjung ke toko suvenir Todi yang berjarak kurang lebih 300 m dari pusat kota Rantepao. Toko suvenir ini menyatukan hasil karya para perajin tenun tradisional dari pelosok terpencil. Menjual beraneka ragam suvenir, seperti kain tenun, aksesoris, ukiran kayu, serta tas dan kaos motif Toraja. Harga bervariasi dari lima ribu rupiah (gelang) sampai 10 juta (kain tenun). Pengunjung dimudahkan dengan terdapatnya price tag di setiap barang yang dijual. Selain itu pelayanannya ramah, dan  terdapat album foto yang berisikan asal muasal  kain tenun yang dijual di sini, yaitu tenun ikat tradisional ‘Sekomandi’.

           

Suasana sepi namun terdapat ruangan di belakang toko untuk melihat proses menenun kain secara langsung oleh orang Mamuju, keturunan Toraja. Kain tenun Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat ini menggunakan pewarna alami, seperti cabe merah. Saya membeli kain selendang untuk ibu dan kakak perempuan saya.

 

Oya, untuk pengunjung yang suka membawa oleh-oleh berupa kaos dengan desain gambar khas Toraja seperti kerbau, gambar tongkonan ataupun lainnya dapat mengunjungi toko suvenir Letter L yang berada persis di seberang Hotel Pantan Makale. Desain masa kini terlihat pada kaos-kaos yang terpajang disini. Selain itu, pemilik toko sangat ramah dalam melayani  tamu yang membeli. Saya yang awalnya datang dan bermaksud untuk melihat-lihat saja entah mengapa diberi kaos gratis. Senang sekali rasanya. Padahal kami baru saling kenal. Sungguh orang Toraja itu baik sekali. Andai saja saya diberikan kesempatan untuk membalas kebaikan mereka disini. Hanya do’a saja yang bisa saya sampaikan. Semoga.

 

Sore hari menjelang kepergian dari tempat tinggal kedua, tidak lupa saya berpamitan pada Pak Panca dan Bu Panca. Kedua orang tua yang telah dengan sabarnya menampung. Menjawab segala pertanyaan dengan baik dan menemani setiap harinya. Mereka sangat baik. Bang Panca mengantar ke tempat menunggu bis malam itu, yaitu Pizza Kinaya sekaligus tempat nongkrong beberapa teman, baik itu dari komunitas fotografi, komunitas sepeda dan komunitas pecinta alam. Saya berpamitan pada Bang Endi, Bang Panca, Bang Rain, Bang Heru, dan Mama Kinaya sebagai pemilik kafé yang tidak jarang saya datangi untuk melepas kepenatan sambil mencari jaringan internet.

 

Menjelang bus malam ke Makassar datang, Rheny sebagai pengelola Duta 88 yang saya sempat datangi beberapa waktu yang lalu memberikan kenang-kenangan berupa kalung, kaos dan kue manis asli Toraja. Sungguh mengharukan juga momen seperti ini, namun saya percaya suatu saat nanti saya akan kembali lagi ke Toraja.

 

Tidak lama kemudian saya naik ke bus dan berpamitan pada Bang Panca. Terimakasih Toraja. Sampai jumpa semua.

 

Saya pun melesat menembus gelapnya jalan menuju Makassar.

 

 

***

 

Catatan Penutup

 

Sebenarnya sangat banyak hal yang sudah saya lalui namun tidak tertulis secara detail disini. Satu hal yang paling membekas adalah keramahtamahan orang Toraja.

Kesan menyeramkan, kesan mengerikan sebetulnya hanya ‘bumbu’ saja. “Toraja menyimpan keindahan alam dan budaya yang menanti untuk dikunjungi” karena tidak hanya Toraja, semua daya tarik di penjuru dunia pastinya mempunyai aturan yang harus ditaati oleh setiap pengunjung yang datang ke Toraja.

 

 

Ini bukan soal apa saja yang saya datangi.

Ini lebih pada apa yang saya rasakan.

Saat di Toraja.

Menyejukkan, mengesankan, misteri.

Mungkin butuh beratus lembar agar dapat tersampaikan.

atau

Ini bukan soal apa saja yang saya sampaikan.

Ini lebih pada apa yang kamu rasakan.

Saat ke Toraja.

 

Pergi dan pulanglah selalu dengan sepasang mata baru”

-Rumba

 

[1] Merupakan rumah adat Toraja, menyerupai perahu, beratapkan bambu dan terdiri dari berbagai bagian ruangan untuk tempat tidur dan dapur

[2] Peti mati  terbuat dari kayu

[3] Boneka kayu  terbuat dari kayu nangka, replika orang Toraja yang sudah meninggal

[4] Ibukota Kabupaten Tana Toraja

[5] Merupakan kuburan berbentuk rumah dan biasanya lebih dari satu peti yang disimpan disana

[6] Orang Toraja, biasa disebut dengan nama anaknya.

[7] Merupakan nama pohon yang buahnya dikumpulkan, bijinya dikeringkan ditumbuk dan digunakan sebagai bumbu masakan khas Toraja. Warnanya hitam

[8] Makanan khas Toraja yang disajikan dengan bumbu khas Toraja, dimasak dan disajikan dalam bambu, biasanya daging babi namun dapat pula diganti dengan daging ayam atau ikan

bottom of page