top of page

Hidup Terapung

Sekedar berbagi. Hidup di laut itu tidaklah mudah. Itu yang juga dirasakan oleh nenek moyang kita sebagai seorang pelaut. Menahan teriknya matahari dan dinginnya malam seakan menjadi sebuah momok menakutkan yang masih sering dibayangkan oleh sebagian orang perkotaan, bahkan untuk sekedar mencoba berlayar mengarungi nusantara yang mana enam puluh lima persen dari total luas wilayahnya sendiri dapat dijelajahi.

 

Jangan khawatir, kami tidak se-ekstrim itu untuk menjelajahi nusantara. Kapal jenis Angkut Tank Khusus MBT (Main Battle Tank) ini sangat handal sebagai tumpuan para penumpang Ekspedisi untuk berpindah lokasi. Bernama KRI Bintuni - 520. Nama kapal diambil dari sebuah teluk yang kaya akan nilai historis. Lebih kecil dari KRI Surabaya memang. Namun lebih menyenangkan untuk pribadi. Beberapa hal yang menjadi poin plus adalah lapangan badminton, kamar mandi lebih banyak, serta dua buah kantin yang membuat leluasa.

 

Kala itu beberapa teman Ekspedisi masih mengisi kegiatan untuk persiapan pameran. Sebuah pameran di Kaimana, Papua Barat sebagai ajang pembuktian hasil keringat masing-masing tim. Pengabdian selama lebih kurang enam bulan akan segera dipertontonkan kepada 'dunia luar'. Menurut kabar yang beredar akan hadir para pejabat kementerian, pejabat militer, pejabat daerah serta masyarakat setempat Kaimana dan sekitarnya untuk memeriahkan acara penutupan. Dalam benak, sudah terbayang akan seramai apa Kaimana nantinya.

 

Kamis (12/4) kami bertolak dari Pelabuhan Sorong langsung estafet menuju Teluk Bintuni, Fak-fak dan Kaimana. Layaknya angkutan kota, persinggahan di beberapa kabupaten tersebut dimaksudkan untuk menjemput rekan Ekspedisi lainnya. Saya beruntung berkesempatan menjelajahi wilayah tersebut karena lebih awal bergabung di kapal dengan Tim Sorong dan Tim Tambrauw.

 

Bagi pemabuk laut harap dapat memilih lokasi tepat karena goncangan kapal masih cukup terasa disini apalagi wilayah helipad. Tidak hanya disitu, terkadang salah satu kantin bergetar kencang apabila mesin kapal sudah memulai aktivitasnya sehingga kami harus menggunakan earphone agar tidak terganggu.

Seiring berjalannya hari, personil tim mulai memenuhi KRI Bintuni termasuk tambahan militer maupun sipil dari daerah. Ramai sekali. Kamar yang terbatas menyebabkan hampir tiga perempat personil laki-laki menempati dek bawah untuk tidur bergabung dengan logistik. Tidur bersinggungan, bersosialisasi, makan bersama, sampai mencari senja sangat rutin dilakukan.

 

Berbagai peraturan mulai dari dilarang keras merokok di dalam ruangan sampai lokasi khusus penyimpanan senjata setiap hari diulang disebutkan dalam apel pagi malam. Lorong bersekat adalah tempat mandi kami. Pengalaman pertama mencoba mandi sambil jongkok karena letak kran setinggi lutut, serta menunggu rekan mandi atau ketika keramas air mendadak habis, tak akan dilupa. Itulah keseharian ketika hidup di kapal kurang lebih total tiga minggu.

 

Bukan cuma berbagai hal 'unik' saja yang dirasakan ketika berlayar menuju pulau tertimur nusantara, namun keindahan sang senja. Matahari tenggelam seakan film telenovela yang selalu ditunggu ketika menjelang sore. Semua duduk melingkar, menyeruput kopi produksi kantin semata wayang, bercengkrama mengenai hal itu-itu saja dan pastinya berfoto bersama. Sedangkan aktivitas malam setelah apel pengecekan kelengkapan personil, biasa dihabiskan di kamar masing-masing atau dek bersama.

 

Bila dikatakan jenuh hidup di kapal? Tidak juga. Mereka yang berfrofesi berlayar membelah dunia bisa juga bertahan. Doa adalah bekal terindah agar dapat bertahan. Juga rekan seperjuangan. Seperjuangan ketika tidur hanya beralaskan seadanya, seperjuangan menjaga perbekalan, bahkan seperjuangan saling mengambilkan makan teman. Semua bisa diatasi. Seperti kata peribahasa : "Semalam di bawah nyiur pinang orang, kala di turut".

 

 

Kaimana, 20 Mei 2016

bottom of page